Fandri 77

Selamat Datang di Blog saya,

Animasi Bergersk

Selasa, 17 Desember 2019

Pelayanan Kesehatan di Jakarta Seharusnya Fokus kepada Program Preventif dan Promotif

Suasana jalannya acara Dialog Publik oleh LSM Terawulan yang bertajuk ‘Mewujudkan Masyarakat Partisipatif terhadap Masalah Pelayanan Kesehatan di Jakarta’beberapa waktu yang lalu di Jakarta Media Center.

Jakarta – Pelayanan kesehatan di Jakarta yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan DKI seharusnya lebih fokus kepada upaya preventif dan promotif ketimbang penangangan seperti yang terjadi saat ini. Hal tersebut dipaparkan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jakarta Slamet Budiarto saat dirinya tampil sebagai pembicara dalam acara Dialog Publik oleh LSM Terawulan yang bertajuk ‘Mewujudkan Masyarakat Partisipatif terhadap Masalah Pelayanan Kesehatan di Jakarta’beberapa waktu yang lalu di Jakarta Media Center.


Menurutnya ada beberapa alasan yang menyebabkan mengapa program preventif dan promotif lebih penting. Pertama, anggota IDI Jakarta jumlahnya mencapai 22.000 orang. Jumlah ini mendekati keinginan WHO yang mewajibkan setiap kota memiliki 25.000 dokter. Kedua, jumlah Rumah Sakit di Jakarta mencapai 187 dengan jumlah tempat tidur mencapai 25.000. Dengan ratio 1 tempat tidur bisa digunakan untuk 1000 orang penduduk, maka jumlah tempat tidur yang ada sekarang bisa digunakan untuk melayani 25 juta penduduk. Jumlah ini tentu lebih dari cukup, pasalnya jumlah penduduk Jakarta kurang lebih sekitar 15 juta orang. Lebih dari itu, kemampuan pendanaan DKI juga sangat besar. Bahkan ada Puskesmas di DKI yang berpendapatan Rp1 miliar.

“Pertanyaannya dengan daya tampung yang sangat memadai itu, mengapa hingga kini kita masih sering mendengar keluhan masyarakat menyangkut ketersediaan kamar di rumah sakit,” ujar Slamet kepada Jakarta Review. Uniknya lanjut Slamet, meskipun jumlah fasiltas pelayanan kesehatan berikut sarana dan prasarananya masih sangat memadai, Dinas Kesehatan DKI, tetap saja disibukkan dengan pembangunan rumah sakit yang diantaranya merubah puskesmas menjadi RSUD Kecamatan.

 “Lagi-lagi merujuk data yang ada penambahan fasilitas kesehatan tersebut sesungguhnya tidak terlalu urgent karena fasilitas kesehatan di Jakarta masih sangat memadai untuk melayani warganya. Apalagi dengan adanya efisiensi dana jaminan kesehatan sebesar Rp500 miliar, jadi seharusnya Dinkes DKI bisa lebih giat lagi menjalankan upaya prenventif dan promotif untuk menaikkan indeks kesehatan warganya,” tuturnya. Dengan menggiatkan upaya preventif dan promotif, lanjutnya, maka Dinkes DKI bisa lebih meningkatkan kesadaran warganya tentang cara hidup sehat dan bagaimana mengatasi masalah kesehatan di lingkungannya.

“Jangan seperti sekarang, Dinkes DKI seperti menunggu bola. Artinya baru bergerak jika ada kejadian. Padahal parameter sederhana berjalannya upaya preventif dan promotif adalah makin berkurangnya penggunaan fasilitas kesehatan tingkat pertama dan lanjut oleh masyarakat,” paparnya. Senada dengan Slamet, Pengamat Kesehatan Agung Nugroho mengatakan pelayanan kesehatan di Jakarta memang belum maksimal. Masih banyak keluhan bahkan persoalan serius yang belum tertangani. Ini masih ditambah dengan prioritas pelayanan tidak tepat. Misalnya fokus Dinkes DKI seolah lebih cenderung tertuju pada pembangunan fisik gedung kesehatan ketimbang penyuluhan dan pencegahan. Tak heran kalau ditengah masyarakat kita sering menjumpai fasilitas mobil ambulance milik Masjid seringkali lebih cepat datang melayani warga ketimbang ambulance milik pemerintah. “Ini sebuah fenomena yang paradoksal. Seharusnya fokus Dinkes DKI lebih diarahkan kepada upaya promotif dan preventif. Ini karena upaya kuratif sudah ditangani oleh BPJS Kesehatan, Jadi Dinkes tinggal melakukan kontrol terhadap pelayanan kesehatan saja,” cetusnya. Agung juga menyoroti program ketuk pintu layani dengan hati (KPLDH). Menurutnya program tersebut lebih bertendensi pencitraan semata. Lihat saja program ini terbukti gembar-gembor saat peresmian saja, namun pada kenyataannya tidak berjalan efekitif, karena tetap menunggu bola. Selain itu Agung juga menilai Dinkes DKI yang lalai dalam menjalankan fungsi pengawasan dan pembinaan terhada Rumah Sakit. Ini yang terjadi pada kasus Debora. Ia mencatat di era kepemimpinan Kadis kesehatan yang sekarang, banyak terjadi perlakuaan buruk RS terhadap pasiennya.

“Dari Januari hingga November, tercatat ada ada 78 keluhan warga yang lamban direspon oleh Dinkes, akibatnya ada 12 pasien harus wafat di RS akibat lamban mendapatkan ruang perawatan khusus. Kemudian ada 17 pasien dimintai bayaran, 21 pasien dikenakan beli obat sendiri, 28 pasien kesulitan mencari kamar kosong, bahkan sampai ada yang selama 4 hari menginap di UGD karena keluarganya harus mencari kamar kosong di RS rujukan,” ungkapnya. Selain lamban merespon keluhan warga, Dinkes DKI juga tidak tegas kepada RS yang melakukan pelayanan dngan buruk kepada warga “Lihat saja tidak pernah ada tindakan teguran mapun sanksi bagi RS yang melakukan pelayanan buruk terhadap warga DKI. Kemudian tidak pernah juga ada upaya dari Dinkes untuk meminta RS mengembalikan uang yang terlanjur dipungut dari msyarakat,

” paparnya. Berbeda dengan kedua pembicara sebelumnya, Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta Muhammad Khotib mengatakan pelayanan kesehatan di Jakarta sebenarnya telah memacu dirinya lebih cepat, tapi problema Jakarta seolah melesat lebih cepat lagi. Namun demikian menurutnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kepuasaan warga Jakarta terhadap pelayanan publik yang didalamnya ada pelayanan kesehatan sudah mencapai 76 persen. Itu artinya pelayanan kesehatan warga Jakarta mengalami peningkatan.

“Layanan kesehatan kota Jakarta berkelindan dengan sistem kota itu sendiri misalnya untuk kesehatan lingkungan, yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan adalah memberikan penyuluhan dan tindakan pencegahan,” jelasnya. Ia menambahkan dari sisi layanan jaminan berobat, Jakarta juga telah membayar premi 3,4 juta orang pemilik Kartu Jakarta Sehat yang saat ini melebur menjadi Jaminan Kesehatan Nasional. Pembayaran premi itu lanjutnya, jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah orang miskin di Jakarta yang angkanya berjumlah 38400 orang (3,75 persen).

0 komentar:

Posting Komentar