CERDIK MENGATASI KERDIL (Stunting)
Pembangunan manusia di bidang kesehatan
adalah salah satu amanat Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu Negara harus
hadir secara maksimal mengatasi masalah kesehatan. Sejak tahun 2017, isu pembangunan kesehatan makin
fokus ke arah stunting atau kerdil. Bagaimana tidak, stunting atau kerdil adalah ujung dari masalah gizi kronis. Kerdil
tidak terjadi tiba-tiba dalam masa yang relatif pendek. Ia adalah benang
panjang yang kusut.
Dampak kerdil tidak hanya pada fisik,
yakni tinggi badan yang tidak sesuai usia sebaya, melainkan sebagai indikasi kurangnya
asupan gizi yang mempengaruhi volume otak. Pada gilirannya, akan mengganggu
indikator standar kecerdasan. Dengan kata lain, anak dengan stunting cenderung
bermasalah pada kecerdasan.
Generasi dengan kemampuan kognitif yang
lemah akan menyumbang masalah, bukan solusi. Justru terhadap masalah inilah,
solusi harus dicari, ditemukan dan dipecahkan. Pada tahun 2018 100 Kabupaten
dan 34 Propinsi telah ditetapkan sebagai lokasi prioritas penurunan masalah
kekerdilan. Angka ini bertambah dua kali pada tahun ini yaitu sebanyak 60 lokus
kabupaten.
Propinsi Nusa Tenggara Timur juga
menjadi bagian dari area dengan prevalensi stunting mencengangkan yakni 52,46%
pada tahun 2018 dari total populasi yang diukur. Angka ini tentu menjadi
masalah yang tidak mungkin dilimpahkan pada bidang kesehatan saja. Semua sektor
harus bangkit melawan bersama.
Mengapa bersama? Salah satu masalah
utama generasi kerdil masih terwarisi adalah karena kurangnya asupan gizi. Bicara
asupan gizi tentu tidak terlepas dari penyediaan pangan dan kecukupan ekonomi.
Nah pada ranah ini, unit kesehatan tentu tidak akan mampu berperang sendiri.
Bahkan dengan ekonomi yang cukup sekalipun, belanja gizi keluarga belum tentu
menempati tempat prioritas. Ditengah persaingan akan penampilan dan eksistensi
yang didukung sosial media, kebutuhan akan pangan dapat bertukar urutan.
Masalah gizi pada stunting hanyalah
salah satu penyumbang problem kekerdilan. Masalah kecacingan yang masih tinggi
pada masyarakat kebanyakan juga menjadi pendonor tingginya angka kekerdilan
atau stunting. Selain itu lingkungan yang kurang bersih dan perilaku Buang Air
Besar Sembarangan (BABS) akan menggerogoti masalah kesehatan masyarakat secara
komunitas yang berpuncak pula pada stunting.
Dalam beragam penyumbang masalah
kekerdilan di Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara Timur khususnya, baiklah jika
kita mengambil fokus terbesar yakni masalah gizi. Ibarat berperang, maka kita
perlu menetukan sasaran vital demi melemahkan sang lawan. Pada kasus ini, gizi
adalah organ vital stunting tumbuh dan merajalela.
Meskipun demikian, sebelum bicara jumlah
dan pola asupan gizi serta ketersediaan pangan, kita perlu bicara gigi dan
rongga mulut sebagai pintu gerbang utama masuknya zat gizi ke tubuh. Kerusakan
pada lapisan gigi akan mengganggu fungsi pengunyahan dan pola makan. Dengan
gangguan ini, tentu akan mengurangi volume makanan yang masuk ke tubuh yang
pada gilirannya akan mengurangi asupan gizi. Lingkaran masalah ini akan terus
berulang: gigi berlubang – ganggungan pola makan – kurangnya asupan gizi - kerdil.
Sesungguhnya generasi yang terlahir
dengan kondisi stunting akan sulit disembuhkan atau terhapus status kerdilnya.
Maka fokus yang cerdik adalah mempersiapkan ibu hamil atau wanita usia subur agar
berada dalam status gizi yang baik. Dengan status gizi yang optimal dan pola
asuh yang baik, dapat dipastikan generasi yang dilahirkan nanti adalah generasi
sehat.
Oleh karena itu mempersiapkan ibu hamil
dengan status kesehatan gigi yang baik adalah cara bijak mempersiapkan
generasi. Perlu diingat wanita pada masa hamil mengalami gangguan keseimbangan
hormonal yang juga mempengaruhi psikis. Dampak yang dapat ditimbulkan antara
lain; gusi mudah meradang dan kejadian gigi berlubang meningkat. Sekali lagi, hal
ini akan mengulang rantai stunting :
gigi berlubang – ganggungan pola makan – kurangnya asupan gizi - kerdil. Maka Terapis Gigi bicara stunting adalah penting!
0 komentar:
Posting Komentar