HUBUNGAN
KARIES GIGI DENGAN STUNTING
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang diawali proses
demineralisasi. Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010
menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang menderita karies gigi sebesar
80% - 90% dimana diantaranya adalah golongan anak. Berdasarkan data Riskesdas
2013, prevalensi nasional masalah gigi-mulut sebesar 31,1%, mengalami
peningkatan dari tahun 2009 sebesar 29,7%2. Peningkatan prevalensi karies gigi
sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula dan kurangnya pemanfaatan flour.
Karies gigi dapat mempengaruhi nafsu makan dan intake gizi sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya. Status gizi merupakan
faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Karies gigi
merupakan penyakit yang dapat mengganggu kondisi gizi anak sehingga dapat
menyebabkan masalah gizi. Tingkat konsumsi macronutrient dan micronutrient
tidak hanya berhubungan dengan status gizi tetapi juga dapat berhubungan
dengan tingkat keparahan karies gigi. Karies gigi menyebabkan terganggunya
fungsi pengunyahan (mastikasi) yang dapat mempengaruhi asupan makan dan
status gizi. Gigi yang sakit akan mempengaruhi status gizi melalui mekanisme
terganggunya fungsi pengunyahan. Konsumsi makanan tersebut dengan frekuensi
sering dan berulang ulang akan menyebabkan pH plak dibawah normal dan
menyebabkan demineralisasi enamel dan terjadilah pembentukan karies gigi.
Karies gigi yang terjadi pada anak
akan menyebabkan munculnya rasa sakit sehingga anak akan menjadi malas makan
dan juga akan menyebabkan tulang disekitar
gigi menjadi terinfeksi. Apabila terjadi kerusakan pada tahap yang berat
atau sudah terjadi abses maka gigi akan dapat tanggal. Anak yang kehilangan beberapa
giginya tidak dapat makan dengan baik kecuali makanan yang lunak. Seseorang
dengan alat pengunyahan yang tidak baik akan memilih makanan sesuai dengan
kekuatan kunyahnya sehingga pada akhirnya akan menyebabkan malnutrisi
Stunting atau status gizi pendek adalah salah satu bentuk gizi kurang
yang diukur berdasarkan standar deviasi referensi WHO tahun 2005. Stunting
dapat dikukur dengan indikator pengukuran tinggi badan terhadap umur TB/U yang
ditandai dengan pertumbuhan tinggi badan yang terhambat. Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi
ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Kejadian balita
stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadI 29,6%
pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di
Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil
Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah
diupayakan oleh pemerintah. Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam
mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi
gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada
tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5%
mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit
protein dan 14,5% mengalami defisit ringan. Stunting dapat meningkatkan
resiko terjadinya karies karena berkurangnya fungsi saliva sebagai sebagai
buffer, pembersih, anti pelarut, dan anti
bakteri rongga mulut. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan
seumur hidup.
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang diawali proses
demineralisasi. Survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2010
menunjukkan prevalensi penduduk Indonesia yang menderita karies gigi sebesar
80% - 90% dimana diantaranya adalah golongan anak. Berdasarkan data Riskesdas
2013, prevalensi nasional masalah gigi-mulut sebesar 31,1%, mengalami
peningkatan dari tahun 2009 sebesar 29,7%2. Peningkatan prevalensi karies gigi
sebagai akibat meningkatnya konsumsi gula dan kurangnya pemanfaatan flour.
Karies gigi dapat mempengaruhi nafsu makan dan intake gizi sehingga dapat
mengakibatkan gangguan pertumbuhan yang pada akhirnya akan mempengaruhi status
gizi anak yang berimplikasi pada kualitas sumber daya. Status gizi merupakan
faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Karies gigi
merupakan penyakit yang dapat mengganggu kondisi gizi anak sehingga dapat
menyebabkan masalah gizi. Tingkat konsumsi macronutrient dan micronutrient
tidak hanya berhubungan dengan status gizi tetapi juga dapat berhubungan
dengan tingkat keparahan karies gigi. Karies gigi menyebabkan terganggunya
fungsi pengunyahan (mastikasi) yang dapat mempengaruhi asupan makan dan
status gizi. Gigi yang sakit akan mempengaruhi status gizi melalui mekanisme
terganggunya fungsi pengunyahan. Konsumsi makanan tersebut dengan frekuensi
sering dan berulang ulang akan menyebabkan pH plak dibawah normal dan
menyebabkan demineralisasi enamel dan terjadilah pembentukan karies gigi.
Karies gigi yang terjadi pada anak
akan menyebabkan munculnya rasa sakit sehingga anak akan menjadi malas makan
dan juga akan menyebabkan tulang disekitar
gigi menjadi terinfeksi. Apabila terjadi kerusakan pada tahap yang berat
atau sudah terjadi abses maka gigi akan dapat tanggal. Anak yang kehilangan beberapa
giginya tidak dapat makan dengan baik kecuali makanan yang lunak. Seseorang
dengan alat pengunyahan yang tidak baik akan memilih makanan sesuai dengan
kekuatan kunyahnya sehingga pada akhirnya akan menyebabkan malnutrisi
Stunting atau status gizi pendek adalah salah satu bentuk gizi kurang
yang diukur berdasarkan standar deviasi referensi WHO tahun 2005. Stunting
dapat dikukur dengan indikator pengukuran tinggi badan terhadap umur TB/U yang
ditandai dengan pertumbuhan tinggi badan yang terhambat. Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi
ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar
deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial
ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi
pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Kejadian balita
stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia.
Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi
balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadI 29,6%
pada tahun 2017. Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di
Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi
35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu
menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil
Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah
diupayakan oleh pemerintah. Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam
mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi
gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada
tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5%
mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit
protein dan 14,5% mengalami defisit ringan. Stunting dapat meningkatkan
resiko terjadinya karies karena berkurangnya fungsi saliva sebagai sebagai
buffer, pembersih, anti pelarut, dan anti
bakteri rongga mulut. Gigi dan mulut merupakan investasi bagi kesehatan
seumur hidup.